Minggu, 01 Juli 2012

KAIDAH-KAIDAH FIQH POKOK


KAIDAH-KAIDAH FIQH POKOK
        I.            PENDAHULUAN
Pada umumnya, pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh imam madzahib tanpa diperselisihkan kekuatannya. Adapun jumlah kaidah asasiah hanya 5 macam (panca kaidah) yaitu (1) Segala masalah tergantung pada tujuannya. (2) Kemadlorotan itu harus dihilangkan. (3) Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. (4) Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. (5) Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Panca kaidah asasiah ini semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili. Dengan kaidah-kaidah asasiah ini kami akan mencoba memaparkan lebih lanjut apa sebenarnya kaidah asasiah itu. [1]
     II.            PEMBAHASAN
A.     Pengertian Qowa’idul Fiqhiyah
Qowa’id fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah dasar-dasar yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqih).
Menurut istilah ahli ushul yang biasa dipakai oleh kebanyakan ulama, qawa’idul fiqhiyah yaitu:
حُكْمٌ كُلِّيٌ يَنْطَبِقُ عَلَى جَمِيْعِ جُزْ ئِيّاَتِ
“hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya.”[2]
B.     Sejarah Ringkas Qawa’idul Fiqhiyah
Tinjauan terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan qawa’idul fiqhiyah dapat dibagi menjadi dua fase:
1.      Fase Pembentukan
Kumpulan kaidah-kaidah dalam qawa’idul fiqhiyah tidaklah terbentuk dan terkumpul dengan sekaligus seperti halnya Kitab Undang-Undang Hukum Positif, yang dibentuk dengan sekaligus oleh para ahli hukum, akan tetapi dirumuskan sedikit demi sedikit secara berangsur-angsur, sehingga terkumpul menjadi banyak.
Rumusan-rumusan kaidah tersebut adalah hasil pembahasan yang dilakukan oleh para fuqaha besar ahli takhrij dan tarjih dengan mengistimbatkan dari nash-nash syari’ah yang bersifat kulli, dasar-dasar ushul fiqh, ilat-ilat hukum, dan buah pikiran mereka.
2.      Fase Pembukuan
Agar ilmu manusia tentang qawa’idul fiqhiyah ini dapat diambil manfa’at oleh generasi selanjutnya, maka timbullah pikiran para ulama untuk membukukannya. Usaha semacam ini terdapat diberbagai mazhab erutama mazhab empat:
a.       Dikalangan fuqaha hanafiyah yaitu Abu Thahir Ad Dibas (abad 3-4 H), imam Abu Zaid Abdullah ibn Umaruddin Ad Dabusy Al Hanafy (abad 5H) dalam kitabnya “Ta’sisun nadhar”, Zainul Abidin ibn Ibrahim Al Mishry (abad 10H) dalam kitabnya “Al Asybahu wan Nadha’ir”, Ahmad ibn Muhammad Al Hamawy (abad 11H) dalam kitabnya “Ghamzu Uyuil Bashair”, dan Muhammad Abu Sa’id Al Khadimy (abad 12H) yang dilanjutkan oleh Mushtafa Muhammad dalam kitabnya “Manafi’ud Daqaiq”.
b.      Dari kalangan fuqaha malikiyah yaitu Imam Juzaim yang menyusun kitab “al Qawa’id” dan Syihabudin Abil Abbas Ahmad ibn Idris Al Qarafy pada abad 7H dalam kitabnya “Anwarul Furuq fi Anwaril Furuq.
c.       Dari kalangan fuqaha Syafi’iyah yaitu Imam Muhammad Izzudin ibn Idris Salam (abad 7H) dan Imam Tajuddin As Subky (abad 8H) yang disempurnakan oleh Imam Jalaludin Abdirrahman Abi Bakr As Sayuthy pada tahun 849-911 H.
d.      Dari kalangan fuqaha Hambaliyah yaitu Najmuddin At Thufy yang menyusun kitab “Al Qawa’idul kubra” dan “Al Qawa’idul Shugra” dan Imam Abdurrahman ibn Rajab yang menyusun kitab “Al Qawa’id”.[3]
Sebab utama para ulama membukukan kaidah-kaidah kulliyah, karena para muhaqqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah. Kaidah-kaidah tersebut diterima oleh segala pihak, diiktibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah.[4]
C.     Macam-Macam Kaidah-Kaidah Fiqh Pokok
Menurut riwayat Al-ala’i al-Syafi’i, al-Suyuthi, dan ibn al-Nujaim mengatakan bahwa Abu Thahir al-Dabbas (ulama abad 4H) telah mengumpulkan 17 kaidah penting dalam madzhab Hanafi. Dalam melestarikan kaidah tersebut, Abu Thahir al-Dabbas menghafalnya secara berulang-ulang pada setiap malam dimasjid setelah pengunjung masjid lainnya keluar.
Pada suatu malam, Abu Thahir al-Dabbas menutup masjid karena pengunjung masjid telah pulang. Dan ketika itu Abu Sa’id al-Harawi bersembunyi dibawah tumpukan tikar masjid untuk mendengar hafalan kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas. Ketika Abu Thahir al-Dabbas telah menghafal sebagian kaidah fiqh yang dikuasainya. Kemudian Abu Sa’id al-Harawi batuk dan Abu Thahir al-Dabbas mendengarnya. Akhirnya Abu Sa’id al-Harawi dipukul dan dikeluarkan dari masjid oleh Abu Thahir al-Dabbas dan setelah kejadian itu Abu Thahir al-Dabbas tidak pernah mengulangi hafalannya tersebut.
Adapun kaidah-kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas yang berhasil dihafal Abu Sa’id al-Harawi adalah lima kaidah pokok, yaitu:[5]  
1)      Kaidah yang Berkaitan Dengan Fungsi Tujuan
a)      Teks kaidahnya:
الْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
 “setiap perkara tergantung pada tujuannya.”
b)      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:  
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
Artinya : “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan)”. (QS. Al bayyinah:5)
Dan dalam surat Al-imran :145
3 ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”.
Sabda nabi:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي
“(sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati).”
c)      Eksistensi niat
Para fuqaha” berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahmad bin hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I mendudukkan niat sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan, sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan  bersama dengan perbuatan.
Jalaludin abdurrahman as syuyuti  menyatakan bahwa waktu niat adalah dipermulaan ibadah. sedangkan tempatnya didalam qolb (amaliyah qolbiyah) yang bersamaan dengan perbuatan (amaliyah fi’liyah).
Pada dasarnya ibadah itu ada yang membutuhkan niat adapula yang tidak membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang memerlukan penjelasan secara khusus, misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau sunah. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat, karena bukan ibadah amaliyah yang diperintahkan secara adat, misalnya iman kepada Allah cukup dilakukan dengan bacaan syahadatain, sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat bila beriman kepada Allah SWT.[6]
2)      Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan
a)      Teks kaidahnya:
اَلْيَقِيْنُ لا يُزَالُ بِا لشَّكِّ
 “keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.”
Yang dimaksud yakin adalah
اَلْيَقِيْنُ هُوَ مَاكَانَ ثَابِتًا بِا لنَّظْرِ وَالدَّلِيْلُ
 “sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.
Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah
الْشَّكُّ هُوَ مَاكَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَعَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىْ الصَّوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الأَخَرِ
 sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.
b)      Dasar-dasar nash kaidah
Sabda nabi:
إِذَاوَجَدَ اَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئٌ اَمْ لا فَلا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَ رِيْحًا.  )رواه مسلم(
 Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan  baunya.”( HR. muslim)
إِذَا شَكَّ اَحَدُ كُمْ فِى صَلاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلّى أ ثَلاثًا اَوْ اَرْبَاعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكُّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا سْتَيْقَنَ) رواه الترمذى(
“Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam mengerjakan shalat, tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit.”( HR. Thurmudhi).
Pada kedua dalil itu disebutkan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguaan. Misalnya seseorang ragu-ragu berapa raka’at yang ia lakukan dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-ragukan.[7]
c)      Pembagian syak
Abu hamid al-asfiroyini menyebutkan bahwa syak (keraguan) itu terdapat 3 macam, yaitu:
a.       Keragu-raguan yang berpangkal dari yang haram.
Macam keraguan ini dicontohkan khusus penyembelihan binatang dinegara yang penduduknya islam dan majusi, maka sembelihan itu haram dimakan, karena pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui benar-benar bahwa yang menyembelih adalah seorang muslim, atau diketahui bahwa umumnya yang menyembelih binatang disitu adalah orang muslim.
b.      Keragu-raguan yang berpangkal dari yang mubah.
Contoh keraguan ini adalah kasus seseorang yang menemukan air yang telah berubah, perubahan itu ada 2 kemungkinan, bisa karena najis dan bisa juga karena sudah lama, maka air dapat dibuat bersuci sebab pada dasarnya air itu suci.
c.       Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya.
Contoh keraguan ini adalah kasus bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar haram. Dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang halal. Kondisi semacam ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan karena itu hukumnya makruh.
3)      Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan
a)      Teks kaidahnya:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِرُ
 kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
b)      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah:
3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al baqarah:185)
Dan dalam surat Al hajj 78:
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Sabda nabi:
الدِّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفَةُ السَّمْحَةُ (رواه البخارى)
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR Bukhori)

c)      Rasionalisasi kemudahan dalam islam
Allah SWT sebagai musyari’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaannya-Nya itu dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepadanya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemashlahatan itu sendiri. Tentunya syari’ah itu disesyuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.[8]
d)      Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah Az- Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori:
a.       Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan.
b.      Kesulitan ghoiru mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan , dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya.
e)      Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis Salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan itu ada enam macam, yaitu:
a.       Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan) misal menggugurkan kewajiban shalat jum’at jika ada udzur.
b.      Tahfitul tanqish ( meringankan dengan mengurangi) misal bolehnya mengqoshor shalat dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at.
c.       Tahfitul ibdal ( meringankan dengan mengganti) misal mengganti wudhu dengan tayamum.
d.      Tahfitul taqdim ( meringankan dengan mendahulukan waktunya) misalnya kebolehan melakukan jama’ taqdim ketika shalat.
e.       Tahfitul ta’khir ( meringankan dengan mengakhirkan waktu) misal bolehnya melakukan jama’ ta’khir dalam shalat.
f.        Tahfitul tarkhis ( meringankan dengan kemurahan) misal bolehnya menggunakan benda najis  atau khomr untuk keperluan berobat.[9]
 
4)      Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan
a)      Teks kaidahnya:
الضَّرَارُ يُزَالُ
kemadharatan harus dihilangkan”
Kaidah ini adalah suatu kaidah pokok yang dari kaidah tersebut merujuklah sebagian besar masalah-masalah fiqh dan diistinbathkannya berbagai hukum.[10]
b)      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT :
Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$#
 dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi.” (QS. Al A’raf: 56)
¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”(QS. Al Qoshosh: 77)
Sabda nabi SAW:
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
“tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
c)      Perbedaan antara masyaqot (kesulitan) dengan darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. 
Contoh kaidah diatas yaitu bahwa darah para pejuang islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis.
5)      Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan
a)      Teks kaidahnya:
اَلْعَادَ ةُ مُحْكَمَةٌ
“adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”
b)      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
“dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)
وَعَاشِرُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
 “dan pergaulilah mereka secara patut.” (QS. An Nisa’: 9)
Sabda Nabi SAW:
الْعَادَةُ مَا اسْتَمَرَّ النَّاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْلِ وَعَادُوْااِلَيْهِ مَرَّةً بَعْدَ اُخْرَى
“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah.” (HR. Ahmad)
c)      Pengertian adah dan ‘uruf
Jumhur ulama’ mengidentikkan ‘adah dengan ‘uruf keduanya mempunyai arti yang sama. Namun sebagian fuqoha’ membedakannya. Al Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah yaitu suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan ‘uruf yaitu suatu perbuatan yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh banyak orang.
Misal ‘uruf/’adah yaitu menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan seorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitunganya ada yang menggunakan metode tamyiz (yakni membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang kuat dianggap darah haid) dan ada juga metode ‘adah ( yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam Hanafi mewajibkan penggunaan metode ‘adah sedang imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
d)      Syarat diterimanya ‘uruf/adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa adah tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
2.      Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
3.      Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunah.
4.      Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.[11]



   III.            PENUTUP
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqih pokok itu terdapat lima kaidah atau yang sering disebut dengan panca kaidah asasiah. Panca kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al-qur’an, as-Sunnah, maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, para ulama mendasarkan setiap kaidah dengan nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga dari nash-nash itu dapat mewakili dari sekian banyak populasi nash-nash hukum.
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang akan datang. Akhirnya kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.





















DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, cet. 1

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Muhammad Hasby As Shidieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997

Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, cet. 3


 


[1] Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. 3,  hlm. 105
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), cet. 1, hlm. 113
[3] Ibid, hlm. 116-120

[4] Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997), hlm. 364
[5] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 64
[6] Mukhlis Usman, Op.Cit.,  hlm. 107-109
[7] Ibid, hlm. 114-115
[8] Ibid, hlm.122-124
[9] Ibid, hlm.130-131
[10] Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Op.Cit., hlm. 374
[11] Mukhlis Usman, Op.Cit.,  hlm. 140-142