KAIDAH-KAIDAH
FIQH POKOK
I.
PENDAHULUAN
Pada
umumnya, pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah
asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah
yang disepakati oleh imam madzahib tanpa diperselisihkan kekuatannya. Adapun
jumlah kaidah asasiah hanya 5 macam (panca kaidah) yaitu (1) Segala masalah
tergantung pada tujuannya. (2) Kemadlorotan itu harus dihilangkan. (3)
Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. (4) Yakin itu tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan. (5) Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Panca kaidah
asasiah ini semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala
kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan
dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat
memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili. Dengan kaidah-kaidah asasiah
ini kami akan mencoba memaparkan lebih lanjut apa sebenarnya kaidah asasiah
itu. [1]
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qowa’idul Fiqhiyah
Qowa’id fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah
dasar-dasar yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum
(fiqih).
Menurut istilah ahli ushul yang biasa dipakai oleh kebanyakan
ulama, qawa’idul fiqhiyah yaitu:
حُكْمٌ كُلِّيٌ يَنْطَبِقُ عَلَى جَمِيْعِ جُزْ
ئِيّاَتِ
“hukum
yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya.”[2]
B.
Sejarah
Ringkas Qawa’idul Fiqhiyah
Tinjauan terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan
qawa’idul fiqhiyah dapat dibagi menjadi dua fase:
1.
Fase
Pembentukan
Kumpulan kaidah-kaidah
dalam qawa’idul fiqhiyah tidaklah terbentuk dan terkumpul dengan sekaligus
seperti halnya Kitab Undang-Undang Hukum Positif, yang dibentuk dengan
sekaligus oleh para ahli hukum, akan tetapi dirumuskan sedikit demi sedikit
secara berangsur-angsur, sehingga terkumpul menjadi banyak.
Rumusan-rumusan kaidah
tersebut adalah hasil pembahasan yang dilakukan oleh para fuqaha besar ahli
takhrij dan tarjih dengan mengistimbatkan dari nash-nash syari’ah yang bersifat
kulli, dasar-dasar ushul fiqh, ilat-ilat hukum, dan buah pikiran mereka.
2.
Fase
Pembukuan
Agar ilmu manusia
tentang qawa’idul fiqhiyah ini dapat diambil manfa’at oleh generasi
selanjutnya, maka timbullah pikiran para ulama untuk membukukannya. Usaha
semacam ini terdapat diberbagai mazhab erutama mazhab empat:
a.
Dikalangan
fuqaha hanafiyah yaitu Abu Thahir Ad Dibas (abad 3-4 H), imam Abu Zaid Abdullah
ibn Umaruddin Ad Dabusy Al Hanafy (abad 5H) dalam kitabnya “Ta’sisun nadhar”,
Zainul Abidin ibn Ibrahim Al Mishry (abad 10H) dalam kitabnya “Al Asybahu wan
Nadha’ir”, Ahmad ibn Muhammad Al Hamawy (abad 11H) dalam kitabnya “Ghamzu Uyuil
Bashair”, dan Muhammad Abu Sa’id Al Khadimy (abad 12H) yang dilanjutkan oleh
Mushtafa Muhammad dalam kitabnya “Manafi’ud Daqaiq”.
b.
Dari
kalangan fuqaha malikiyah yaitu Imam Juzaim yang menyusun kitab “al Qawa’id”
dan Syihabudin Abil Abbas Ahmad ibn Idris Al Qarafy pada abad 7H dalam kitabnya
“Anwarul Furuq fi Anwaril Furuq.
c.
Dari
kalangan fuqaha Syafi’iyah yaitu Imam Muhammad Izzudin ibn Idris Salam (abad
7H) dan Imam Tajuddin As Subky (abad 8H) yang disempurnakan oleh Imam Jalaludin
Abdirrahman Abi Bakr As Sayuthy pada tahun 849-911 H.
d.
Dari
kalangan fuqaha Hambaliyah yaitu Najmuddin At Thufy yang menyusun kitab “Al
Qawa’idul kubra” dan “Al Qawa’idul Shugra” dan Imam Abdurrahman ibn Rajab yang
menyusun kitab “Al Qawa’id”.[3]
Sebab utama para ulama
membukukan kaidah-kaidah kulliyah, karena para muhaqqiqin telah mengembalikan
segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap kaidah itu,
menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah. Kaidah-kaidah
tersebut diterima oleh segala pihak, diiktibarkan dan dijadikan dalil untuk
menetapkan masalah.[4]
C.
Macam-Macam
Kaidah-Kaidah Fiqh Pokok
Menurut riwayat Al-ala’i al-Syafi’i, al-Suyuthi, dan ibn
al-Nujaim mengatakan bahwa Abu Thahir al-Dabbas (ulama abad 4H) telah
mengumpulkan 17 kaidah penting dalam madzhab Hanafi. Dalam melestarikan kaidah
tersebut, Abu Thahir al-Dabbas menghafalnya secara berulang-ulang pada setiap
malam dimasjid setelah pengunjung masjid lainnya keluar.
Pada suatu malam, Abu Thahir al-Dabbas menutup masjid
karena pengunjung masjid telah pulang. Dan ketika itu Abu Sa’id al-Harawi
bersembunyi dibawah tumpukan tikar masjid untuk mendengar hafalan kaidah fiqh
Abu Thahir al-Dabbas. Ketika Abu Thahir al-Dabbas telah menghafal sebagian
kaidah fiqh yang dikuasainya. Kemudian Abu Sa’id al-Harawi batuk dan Abu Thahir
al-Dabbas mendengarnya. Akhirnya Abu Sa’id al-Harawi dipukul dan dikeluarkan
dari masjid oleh Abu Thahir al-Dabbas dan setelah kejadian itu Abu Thahir
al-Dabbas tidak pernah mengulangi hafalannya tersebut.
Adapun kaidah-kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas yang
berhasil dihafal Abu Sa’id al-Harawi adalah lima kaidah pokok, yaitu:[5]
1)
Kaidah
yang Berkaitan Dengan Fungsi Tujuan
a)
Teks kaidahnya:
الْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“setiap perkara tergantung pada tujuannya.”
b)
Dasar-dasar nash kaidah
Firman
Allah SWT:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
Artinya
: “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan
jauh dari kesesatan)”. (QS. Al bayyinah:5)
Dan
dalam surat Al-imran :145
3 ÆtBur ÷Ìã z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷Ìã z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
Artinya:
“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya
pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu”.
Sabda
nabi:
إنما الأعمال بالنيات
وإنما لكل امرئ مانوي
“(sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah
apa yang ia niati).”
c)
Eksistensi niat
Para fuqaha” berbeda pendapat dalam mendudukkan
niat. Imam abu hanifah dan imam ahmad bin hambal mendudukkan niat sebagai
syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I mendudukkan niat sebagai rukun perbuatan.
Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya
perbuatan, sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan bersama dengan perbuatan.
Jalaludin abdurrahman as syuyuti menyatakan bahwa waktu niat adalah
dipermulaan ibadah. sedangkan tempatnya didalam qolb (amaliyah qolbiyah) yang
bersamaan dengan perbuatan (amaliyah fi’liyah).
Pada dasarnya ibadah itu ada yang membutuhkan
niat adapula yang tidak membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah
ibadah yang amaliyah yang memerlukan penjelasan secara khusus, misalnya niat
shalat, apakah shalat wajib atau sunah. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat,
karena bukan ibadah amaliyah yang diperintahkan secara adat, misalnya iman
kepada Allah cukup dilakukan dengan bacaan syahadatain, sedang setiap hari
tidak perlu melakukan niat bila beriman kepada Allah SWT.[6]
2)
Kaidah yang Berkenaan Dengan
Keyakinan
a)
Teks kaidahnya:
اَلْيَقِيْنُ لا يُزَالُ بِا لشَّكِّ
“keyakinan itu tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan.”
Yang
dimaksud yakin adalah
اَلْيَقِيْنُ هُوَ مَاكَانَ ثَابِتًا بِا لنَّظْرِ وَالدَّلِيْلُ
“sesuatu yang tetap , baik dengan
penganalisaan maupun dengan dalil”.
Sedangkan
yang dimaksud dengan syak adalah
الْشَّكُّ هُوَ مَاكَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَعَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىْ الصَّوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الأَخَرِ
“sesuatu yang tidak menentu antara ada dan
tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan
kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.”
b)
Dasar-dasar nash kaidah
Sabda
nabi:
إِذَاوَجَدَ اَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئٌ اَمْ لا فَلا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَ رِيْحًا. )رواه مسلم(
“Apabila seorang diantara kalian menemukan
sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya
atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau
mendapatkan baunya.”( HR. muslim)
إِذَا شَكَّ اَحَدُ كُمْ فِى صَلاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلّى أ ثَلاثًا اَوْ اَرْبَاعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكُّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا سْتَيْقَنَ) رواه الترمذى(
“Apabila
salah seorang diantara kalian ragu dalam mengerjakan shalat, tidak tahu berapa
rakaat yang telah dikerjakan tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah
keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling
sedikit.”( HR. Thurmudhi).
Pada kedua dalil itu disebutkan bahwa keyakinan
tidak dapat dihilangkan dengan keraguaan. Misalnya
seseorang ragu-ragu berapa raka’at yang ia lakukan dalam shalatnya, maka yang
yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang paling sedikit itu yang
yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-ragukan.[7]
c)
Pembagian syak
Abu hamid al-asfiroyini menyebutkan bahwa syak
(keraguan) itu terdapat 3 macam, yaitu:
a.
Keragu-raguan yang berpangkal
dari yang haram.
Macam
keraguan ini dicontohkan khusus penyembelihan binatang dinegara yang
penduduknya islam dan majusi, maka sembelihan itu haram dimakan, karena pada
dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui benar-benar bahwa yang
menyembelih adalah seorang muslim, atau diketahui bahwa umumnya yang
menyembelih binatang disitu adalah orang muslim.
b.
Keragu-raguan yang berpangkal
dari yang mubah.
Contoh
keraguan ini adalah kasus seseorang yang menemukan air yang telah berubah,
perubahan itu ada 2 kemungkinan, bisa karena najis dan bisa juga karena sudah
lama, maka air dapat dibuat bersuci sebab pada dasarnya air itu suci.
c.
Keragu-raguan yang tidak
diketahui pangkal asalnya.
Contoh
keraguan ini adalah kasus bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar
haram. Dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang halal.
Kondisi semacam ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal
dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan karena itu
hukumnya makruh.
3)
Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi
Menyulitkan
a)
Teks kaidahnya:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِرُ
“kesukaran
itu dapat menarik kemudahan”.
b)
Dasar-dasar nash kaidah
Firman
Allah:
3 ßÌã
ª!$#
ãNà6Î/
tó¡ãø9$#
wur
ßÌã
ãNà6Î/
uô£ãèø9$#
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al
baqarah:185)
Dan
dalam surat Al hajj 78:
$tBur
@yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
4
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan.”
Sabda
nabi:
الدِّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ
الدِّيْنِ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفَةُ السَّمْحَةُ (رواه البخارى)
“Agama
itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR
Bukhori)
c)
Rasionalisasi kemudahan dalam
islam
Allah SWT sebagai musyari’ memiliki kekuasaan
yang tiada tara, dengan kekuasaannya-Nya itu dia mampu menundukkan ketaatan
manusia untuk mengabdi kepadanya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak
terjadi kekeliruan maka dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai
syari’ah demi kemashlahatan itu sendiri. Tentunya syari’ah itu disesyuaikan
dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada
dasarnya syari’ah itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan
manusia sendiri.[8]
d)
Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah Az- Zuhaili mengklasifikasikan
kesulitan dalam 2 kategori:
a.
Kesulitan mu’tadah adalah
kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia
belum masuk pada keterpaksaan.
b.
Kesulitan ghoiru mu’tadah
adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan , dimana manusia tidak mampu memikul
kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya.
e)
Bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis Salam menyatakan bahwa
bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan itu ada enam macam, yaitu:
a.
Tahfitul isqoth (meringankan
dengan menggugurkan) misal menggugurkan kewajiban shalat jum’at jika ada udzur.
b.
Tahfitul tanqish (
meringankan dengan mengurangi) misal bolehnya mengqoshor shalat dari 4 raka’at
menjadi 2 raka’at.
c.
Tahfitul ibdal (
meringankan dengan mengganti) misal mengganti wudhu dengan tayamum.
d.
Tahfitul taqdim (
meringankan dengan mendahulukan waktunya) misalnya kebolehan melakukan jama’
taqdim ketika shalat.
e.
Tahfitul ta’khir (
meringankan dengan mengakhirkan waktu) misal bolehnya melakukan jama’ ta’khir
dalam shalat.
f.
Tahfitul tarkhis (
meringankan dengan kemurahan) misal bolehnya menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.[9]
4)
Kaidah yang Berkenaan Dengan
Kondisi Membahayakan
a)
Teks kaidahnya:
الضَّرَارُ يُزَالُ
“kemadharatan
harus dihilangkan”
Kaidah ini adalah suatu
kaidah pokok yang dari kaidah tersebut merujuklah sebagian besar
masalah-masalah fiqh dan diistinbathkannya berbagai hukum.[10]
b)
Dasar-dasar nash kaidah
Firman
Allah SWT :
wur
(#rßÅ¡øÿè?
Îû
ÇÚöF{$#
“dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan
dibumi.” (QS. Al A’raf: 56)
¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
ÇÐÐÈ
“sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”(QS. Al
Qoshosh: 77)
Sabda
nabi SAW:
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
“tidak
boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang
lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
c)
Perbedaan antara masyaqot
(kesulitan) dengan darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang
menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak
akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan
yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan
maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Contoh kaidah diatas yaitu bahwa darah para
pejuang islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila
mengenai orang lain dianggap najis.
5)
Kaidah yang Berkenaan Dengan
Adat Kebiasaan
a)
Teks kaidahnya:
اَلْعَادَ ةُ مُحْكَمَةٌ
“adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”
b)
Dasar-dasar nash kaidah
Firman
Allah SWT:
Éè{
uqøÿyèø9$#
óßDù&ur
Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur
Ç`tã
úüÎ=Îg»pgø:$#
ÇÊÒÒÈ
“dan
serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang
yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)
وَعَاشِرُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“dan pergaulilah mereka secara patut.” (QS.
An Nisa’: 9)
Sabda
Nabi SAW:
الْعَادَةُ مَا اسْتَمَرَّ النَّاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْلِ وَعَادُوْااِلَيْهِ
مَرَّةً بَعْدَ اُخْرَى
“apa yang dipandang baik
oleh muslim maka baik pula disisi Allah.” (HR. Ahmad)
c)
Pengertian adah dan ‘uruf
Jumhur ulama’ mengidentikkan ‘adah dengan
‘uruf keduanya mempunyai arti yang sama. Namun sebagian fuqoha’
membedakannya. Al Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah yaitu suatu
perbuatan yang terus-menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan
secara terus-menerus. Sedangkan ‘uruf yaitu suatu perbuatan yang jiwa
merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh
banyak orang.
Misal ‘uruf/’adah yaitu menggunakan kalender
haid bagi wanita, setiap bulan seorang wanita mengalami menstruasi dan cara
perhitunganya ada yang menggunakan metode tamyiz (yakni membedakan darah
kuat dan darah lemah, dan yang kuat dianggap darah haid) dan ada juga metode ‘adah
( yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan).
Bagi Imam Hanafi mewajibkan penggunaan metode ‘adah sedang imam Syafi’I
menguatkan metode tamyiz.
d)
Syarat diterimanya ‘uruf/adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat
diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Perbuatan yang dilakukan logis
dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa adah tidak mungkin
berkenaan dengan perbuatan maksiat.
2.
Perbuatan, perkataan yang
dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada
perilaku masyarakat.
3.
Tidak bertentangan dengan
ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunah.
4.
Tidak mendatangkan kemadharatan
serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.[11]
III.
PENUTUP
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqih pokok itu terdapat lima kaidah atau yang
sering disebut dengan panca kaidah asasiah. Panca kaidah itu digali dari
sumber-sumber hukum, baik melalui Al-qur’an, as-Sunnah, maupun dalil-dalil
istinbath. Karena itu, para ulama mendasarkan setiap kaidah dengan nash-nash
pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga dari nash-nash
itu dapat mewakili dari sekian banyak populasi nash-nash hukum.
Demikianlah makalah
ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak demi
kebaikan pemakalah yang akan datang. Akhirnya kami berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, cet. 1
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002
Muhammad Hasby As Shidieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam,
Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997
Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999, cet. 3
[1] Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. 3, hlm. 105
[3] Ibid,
hlm. 116-120
[4] Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Pengantar
Hukum Islam, (Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997), hlm. 364
[5] Jaih
Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 64
[10] Teungku
Muhammad Hasby As Shidieqy, Op.Cit., hlm. 374
Tidak ada komentar:
Posting Komentar